THE WAY HOME
Itulah yang dialami Sang-woo, bocah sekolah dasar yang harus merasakan getirnya hidup di lingkungan yang sangat jauh dari kehidupannya sehari-hari. Karena masalah finansial keluarga, ia dititipkan ibunya untuk tinggal bersama sang nenek yang sudah sangat lama tak ditemuinya di desa. Ia akan dijemput pulang apabila sang ibu sudah mendapatkan pekerjaan yang layak dan bisa memperbaiki kondisi ekonomi keluarga mereka.
Nenek sudah bertahun-tahun hidup seorang diri di sebuah rumah sederhana. Ia terlihat tegar dan lelah karena melakukan semuanya sendirian, namun tak berkurang sedikitpun keramahan dan kelembutan hatinya walaupun sering terjadi kesalahpahaman karena keterbatasan komunikasi di antara mereka. Ya, sang nenek yang ternyata bisu dan tuli, ditambah lingkungan yang terlalu sederhana, membuat Sang-woo sering naik pitam karena merasa sangat bosan. Akibatnya, ia sering berperilaku seenaknya saja.
Suatu kali ia ngambek dan membuang sepatu neneknya saat sang nenek tidak paham akan keinginannya untuk membeli baterai untuk game tetris-nya yang sudah habis. Akibatnya ia nekat mengambil uang neneknya dan pergi sendirian mencari batarai. Sampai ia tersesat dan baru pulang menjelang malam pun, neneknya masih menunggu di depan rumah. Sang-woo yang menangis karena ketakutan tak dimarahi sama sekali, bahkan dirangkul untuk pulang.
Sebenarnya banyak sekali adegan-adegan mengharukan dan mengandung beribu makna lainnya yang bisa di dapatkan dari film ini. Misalnya saat Sang-woo ikut neneknya berjualan hasil alam ke pasar, hasil penjualan yang tak seberapa itu malah dibelikan sepatu dan berbagai makanan untuk cucunya.
Adegan yang tak kalah menyentuh adalah saat Sang-woo merajuk ingin makan ayam goreng krispi ala resto cepat saji, sang nenek langsung pergi membeli ayam, menyembelih, membersihkan, dan memasaknya sedirian. Karena ia tak mengerti apa yang dimaksud cucunya, maka ia berbuat kesalahan dengan menyajikan ayam rebus. Sang-woo yang kesal karena kelaparan pun marah dan tak mau memakannya sama sekali.
Saat bangun keesokan harinya, ia menemukan sang nenek (yang biasanya sudah bangun sejak pagi) masih tidur di kasurnya. Badannya panas, mungkin karena terlalu lelah dan kehujanan saat membeli ayam kemarin. Sang-woo tak sampai hati melihatnya dan langsung menyelimuti neneknya, lalu berlari ke dapur untuk mengambilkan sarapan dan air.
Sambil menunggu neneknya bangun, ia sadar perutnya terus berbunyi karena belum makan sejak kemarin. Maka ia pun mencoba sepotong ayam rebus yang sudah dibuat susah payah oleh neneknya kemarin. Saat itu juga ia merasakan potongan ayam terenak yang pernah ia makan, buatan tangan seorang tua renta yang tulus dan tak pernah menuntut balas budi.
Dan pada akhirnya, perpisahan pun harus terjadi juga. Suatu hari datang sepucuk surat dari Ibu Sang-woo. Ia akan dijemput pulang. Dan di malam terakhirnya di desa itu, Sang-woo susah payah mengajarkan si nenek baca tulis agar kelak bisa membaca dan membalas surat-suratnya. Tapi sang nenek tentu saja tak bisa mengerti secepat itu. Saat disuruh menulis, ia malah menangis tanpa suara. Sang-woo yang sedih (namun terlalu angkuh untuk menunjukannya) juga memasukan benang-benang jahit ke dalam jarum dan menyimpannya rapi di kotak jahit, karena ia tahu neneknya selalu kesulitan memasukkan benang ke jarum jika hendak menambal pakaian-pakaiannya.
Secara keseluruhan saya sangat menyukai film asal korea ini. Mungkin
industri film Indonesia harus belajar banyak dari film – film pendek namun
berkualitas seperti ini. Mengambil tema yang berbeda, down to earth dan sangat
jauh dari kesan glamour, film ini sukses merebut hati siapa pun yang
menontonnya. Mereka tidak berakting dengan banyak dialog, tapi sangat total
menunjukan ekspresi dan perbuatan. Awalnya, film mengharukan yang sarat makna
kehidupan ini memang dianggap bukan pasarnya film zaman sekarang. Namun siapa
sangka The Way Home merupakan salah satu film terlaris di korea pada tahun
2002. Semoga film ini menjadi inspirasi kita semua.

